|Lap-put|
|Wawancara|
|Refleksi|
|Lip-Sus|
|Hukum|
|Rehat|
|Lintasan|
|Analisa
Berita TSL|
|Layar|
Pendidikan
:
Akankah Hua Chung Bangkit
Kembali?
Menyaksikan
sebuah situs sejarah yang hancur dan tak
terawat adalah sangat menyakitkan. Seperti
yang dialami oleh komplek sekolah Hua Chung,
di kawasan Bandengan, Jakarta. Dengan kondisi
yang demikian tragis, timbul pemikiran dari
beberapa mantan siswanya untuk menghidupkan
kembali sekolah nasionalis itu.
Setelah
mengalami masa kejayaan di era 40-an, maka
nasib salah satu sekolah Tionghoa di tanah
air yakni Hua Chung sangat memprihatinkan.
Terlebih lagi usai dibong-karnya SMPN 21 dan
SMAN 111 yang usai peristiwa G30/S/PKI
menempati lokasi tersebut. Seperti dikatakan
oleh Soetikno, seorang pegawai TU di Yayasan
Wijaya Kusumah. "Sekitar 3 tahun yang
lalu, ada tiga sekolah di bekas sekolah Hua
Chung ini. Namun dua sekolah negeri itu
sekarang sudah dibongkar, sedangkan sekolah
kami tidak. Karena kami menentang proyek
perkantoran," ujarnya. Namun akibat dari
badai krisis yang melanda Indonesia, maka
proyek itu batal. Namun akibatnya, lokasi
pendidikan itu sekarang seperti sebuah kebun
ilalang. Melihat kondisi yang demikian,
timbul pemikiran dari beberapa alumni Hua
Chung untuk menyelamatkan salah satu saksi
sejarah pendidikan nasional itu. Namun
Supandi, seorang pengurus alumni Hua Chung,
beranggapan ide mendirikan sekolah ini
sangatlah tidak sesuai lagi. Karena
menurutnya orang Tionghoa itu harus
menunjukkan nasionalismenya kepada bangsa
ini. "Tapi kalaupun harus mendirikan
sekolah itu kembali, sebaiknya jadikanlah
bahasa China sebagai second language,"
katanya. Sedangkan alasan ketidaksetu-juannya
itu karena sudah terlalu lama Hua Chung itu
dikelola pemerintah sehingga sulit untuk
mengembalikan sekolah itu kepada yang berhak.
Sejarah Sekolah Hua
Chung terakhir berada di kawasan Bandengan,
Jakarta Barat, meru-pakan lembaga pendidikan
yang didirikan oleh empat orang guru ex THHK
Jakarta pada tahun 1939. Keempat guru
tersebut adalah Lie Tjun Ming, Chang Kuo Chi,
Lie San Chi dan Chen Chang Chi. Namun dalam
perjalanan selanjutnya para pendidik ini
rupanya mendapat dukungan baik moril maupun
materil dari beberapa pengusaha antara lain
Mak Tjiok Sian dan Chang Chu Yen.
Sekolah itu
pada awal berdirinya terletak di kawasan
Pancoran, Glodok Jakarta yang merupakan bekas
hotel. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi
para pendirinya karena mereka harus mengubah
bekas kamar-kamar tidur menjadi ruang
belajar. Selain itu jumlah muridnya saat itu
masih belasan, bahkan para gurunya tak
menerima gaji. Tapi seiring dengan
perkembangan zaman, sekolah ini akhirnya
semakin berkembang dan karena perkembangan
yang begitu pesat hingga tak mampu menampung
siswa yang jumlahnya semakin banyak. Maka
pada tahun 1940, sekolah ini membeli sebidang
tanah di kawasan Kampung Baru, yang
selanjutnya didirikan gedung sekolah yang
baru. Namun di saat begitu pesatnya
perkembangan sekolah, bahkan sampai dikirimi
alat tulis dari sebuah perusahaan buku dan
alat-alat tulis di Tiongkok, tiba-tiba Jepang
masuk (1942). Maka dengan seketika
perkembangan sekolah ini terhambat, karena
berbagai bahan material untuk membangun
sekolah tersebut diambil Jepang. Maka
akhirnya pihak sekolah mengumumkan penutupan
sekolah ini sampai waktu yang tak terbatas.
Tapi setelah Jepang pergi, pembangunan
sekolah di Kampung Baru berjalan lagi. Pada
bulan Februari 1949 gedung baru itu berhasil
diselesaikan. Seluruh pelajar SLTP dan SLTA
pun pindah ke lokasi baru tersebut.
Secara umum
pendidikan di Hua Chung sama dengan sekolah
Tionghoa lainnya, namun yang membedakan
hanyalah bahwa di sekolah ini siswa diberikan
kebebasan untuk bergerak dan berinisiatif.
Secara langsung maupun tidak sekolah Hua
Chung telah memberi andil bagi perkembangan
pendidikan di tanah air. Lalu bagaimana
dengan gedung yang di Pancoran? Sehubungan
dengan keluarnya SK penguasa perang No :
989/PMT/1957 mengenai pemisahan sekolah untuk
anak-anak yang berkewarganegaraan asing dan
anak-anak yang berkewarganegaraan Indonesia,
maka sejak tahun 1958 seluruh bangunan
sekolah itu diserahkan kepada Badan
Pendidikan Baperki. Selanjutnya ia dijadikan
sekolah untuk warga negara Indonesia. Tapi
sayang, bangunan sekolah bersejarah itu pun
sekarang telah menjadi sarang perjudian dan
sekolah Hua Chung di Bandengan telah berubah
menjadi puing yang kalau tidak dibangun
kembali tinggal kenangan. (MSb/Budi)
|Lap-put|
|Wawancara|
|Refleksi|
|Lip-Sus|
|Hukum|
|Rehat|
|Lintasan|
|Analisa
Berita TSL|
|Layar|
|
Utama | | Redaksional | |Saran / Kritik Masukkan | |Denah
Alamat
| |Lain-lain |
Copyright © 2000 SINERGI On-Line (Indonesian
Chinese Magazine) Send Mail to metta@indo.net.id with comments about
this web site
All Rights Reserved
Designed by Rickysept and hosted by www.tripod.com