|Refleksi|
|Wawancara|
|Lip-Sus|
|Iptek|
|Ekonomi|
|Kolom TSL|
|Layar|
Laput:
Setelah
Satu Tahun Terima "Angpao Imlek"
Muncul Tuntutan
Kesetaraan
Satu
Tahun sudah etnis Tionghoa menerima angpao
yang berisi Keppres No. 6/2000. Banyak sudah
yang dilakukan etnis Tionghoa setelah
memperoleh kebebasan. Satu di antaranya
perayaan tahun baru Imlek. Namun demikian,
sekarang timbul tuntutan lain.
Beberapa waktu yang lalu umat
Kristiani baru saja merayakan hari rayanya
yakni Natal. Demikian pula halnya dengan umat
Islam yang juga baru saja melewati hari raya
Idul Fitri. Jika kedua umat tersebut
merayakan hari besarnya hanya berselang dua
hari, ternyata etnis Tionghoa pun akan
merayakan hal yang serupa. Tahun baru Imlek
yang jatuh pada tanggal 24 Januari 2001 tentu
tak akan di sia-siakan untuk dirayakan.
Apalagi tahun ini merupakan tahun pertama
sejak keluarnya Keppres No. 6/2000. Dengan
demikian etnis Tionghoa tak perlu lagi takut
untuk merayakannya.
Namun
demikian, terlepas dari hal itu, muncul suatu
pertanyaan yang mungkin bisa menjadi refleksi
atau catatan. Apa saja yang sudah dilakukan
etnis Tionghoa setelah satu tahun menerima
angpao tersebut? Untuk menjawabnya, kita
serahkan pada masing-masing individu
Tionghoa. Yang jelas jawaban yang akan muncul
sangat variatif. Ada yang mengatakan sudah
banyak yang dilakukan, ada pula yang
menuturkan masih kurang dan banyak pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan. Tetapi dari
jawaban yang berbeda-beda, ada satu hal yang
sangat menarik. Apa itu? Yakni usulan atau
tuntutan agar tahun baru Imlek dijadikan hari
besar ataupun libur nasional seperti halnya
Natal dan Lebaran . Usulan itu semakin
menggema dan nyaring disuarakan akhir-akhir
ini.
Suhu Acai,
Ketua Umum Yayasan Lestari Kebudayaan
Tionghoa Indonesia (YLKTI), kepada SINERGI
mengatakan,"Saya mengusulkan agar tahun
baru Imlek dijadikan hari besar
nasional."Hal yang sama diusulkan pula
oleh Ir. Budi Santoso Tanuwijaya, Sekjen
Matakin. Menurutnya,"Kami dari Matakin
mengusulkan kepada pemerintah agar tahun baru
Imlek dijadikan hari libur." Jika kedua
tokoh di atas mengatakan hal demikian, lain
halnya dengan Ketua Umum PSMTI Brigjen TNI
(Purn) Tedy Jusuf dan Ketua Umum Perhimpunan
INTI, Eddy Lembong. Tedy Jusuf justru
mengusulkan agar tahun baru Imlek jadi libur
fakultatif. "Seperti pada posisi semula,
semua yang merayakan Imlek diberi kesempatan
untuk libur," tandas Tedy.
Sedangkan Eddy
Lembong menuturkan,"Kami Perhimpunan
INTI mendukung Imlek menjadi hari raya
nasional ataupun fakultatif jika dalam kaitan
agama Khonghucu." Eddy lembong melihat,
jika etnis Tionghoa meminta hari libur atas
hari rayanya, bagaimana dengan suku-suku yang
lain yang ada di Indonesia. Syukri Siregar,
yang juga mendukung Imlek sebagai hari libur
Nasional, justru balik bertanya, etnis Batak
mau minta apa? "Karena etnis Batak yang
beragama Kristen merayakan Natal, sedang yang
beragama Islam merayakan Lebaran," ujar
ketua Gafeksi Jakarta itu.
Usaha-usaha yang dilakukan Terlepas dari
tuntutan tahun baru Imlek menjadi hari besar
/libur nasional atau fukultatif, yang jelas
itu merupakn aspirasi. Frans Hendra Winata,
pakar hukum menegaskan bahwa hal itu sangat
baik. "Itu bukan hanya sekedar euforia
belaka,"lanjut anggota Komisi Hukum
Nasional ini.
Sebagai
aspirasi yang datang dari masyarakat,
ternyata tuntutan itu bukan tanpa dukungan.
Berbagai kalangan mulai dari dari anggota
masyarakat biasa hingga elit politik pun tak
kurang meyatakan dukungannya. Seperti yang
dikemukakan oleh Tubagus Barce, Panglima
Laskar Banten. Menurutnya,"Walau kami
muslim tetapi kami mendukung hal itu karena
untuk menjalin persatuan dan kesatuan."
Fraksi Golkar. Sedangkan Edi Ramli, anggota
DPR RI dari meng-ungkapkan,"Kami
mendukung apa yang tercermin dari aspirasi
masyarakat yaitu bahwa perayaan Imlek menjadi
hari nasional." Disambung pula
olehnya,"Hal itu tidak berlebihan karena
reformasi dapat berkembang dan kami mendukung
sepenuhnya serta akan direspons."
Setelah muncul
berbagai pendapat dan dukungan, selanjutnya
timbul pertanyaan lagi, sudah sampai seberapa
besar usaha yang dilakukan ke arah
tersebut?Suhu Acai, ketika ditemui di Hotel
Sahid waktu memprakarsai acara mendukung
Imlek menjadi hari libur nasional
menuturkan,"99 %sudah positif, dimana
secara lisan sudah ke Menteri Agama, Akbar
Tanjung (Ketua DPR), Amin Rais (Ketua MPR)
bahkan ke Presiden dan wakil Presiden."
Dari usaha tersebut tergambar jelas bahwa
langkah-langkah yang dilakukan sesuai
prosedur yang berlaku di Indonesia. Artinya,
kata Suhu Acai bahwa usaha mulai dari lapisan
bawah, dari fraksi kemudian ke komisi 6
bagian agama. Selanjutnya ke Lemhanas untuk
seterusnya ke Wakil Presiden dan baru ke
Presiden.
Hal ini memang
bukan sekedar basa-basi, karena beberapa
waktu yang lalu, etnis Tionghoa mendatangi
gedung DPR RI serta Suhu Acai bersama YLKTI
mengadakan Silaturahmi Nasional untuk meminta
dukungan. Sementara itu, Budi
Santo-soTanuwijaya, Sekjen Matakin
be-rkata,"Matakin akan melakukan silent
operation kepada pemerintah karena kalau
dengan cara pembuatan Pansus akan menambah
terhadap perjuangan agama Khong Hucu."
Lalu bagaimana
bila tahun baru Imlek tidak digolkan oleh DPR
ataupun pemerintah? "Libur ataupun tidak
libur, tidak terlalu penting, kita tetap
berjuang dengan melihat kepentingan
umum,"ujar Budi. Dari beberapa ungkapan
di atas, sangatlah wajar apabila etnis
Tionghoa menuntut suatu aspirasi. Sebagai
salah satu komponen bangsa yang mendiami,
hidup dan tinggal di Indonesia, tentu etnis
Tionghoa ingin adanya kesetaraan. Seperti
yang dikemukakan oleh DPP PITI dalam
pernyataan sikapnya tentang tahun baru Imlek
sebagai hari raya resmi. Pernyataan sikap
yang ditandatangani oleh Ketua PITI, Prof. H.
Usman Effendy, Ph.D dan Sekretaris Jenderal
H. Usman Sulaeman berisi tiga butir. Salah
satunya berbunyi etnis Tionghoa sebagai salah
satu komponen bangsa Indonesia sebagai
dicerminkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal
Ika adalah setara di hadapan hukum sehingga
segala bentuk yang bersifat diskriminatif
harus dihilangkan dan tidak terulang lagi
karena tidak sesuai dengan Hak-hak Asasi
Manusia (HAM).
Jika umat atau
etnis yang lainnya ada hari besarnya
dijadikan hari libur, kenapa etnis Tionghoa
nggak bisa? Tentu ini suatu perjuangan berat
yang harus dilakukan oleh etnis Tionghoa
sendiri dan secara bersama-sama.
Mudah-mudahan yang terbaik bagi etnis
Tionghoa juga terbaik bagi bangsa Indonesia. (MSb//Tim
Laput)
Pendapat Rakyat Biasa
Soal Imlek
Bagaimana
pendapat rakyat kebanyakan soal Imlek jadi
hari libur nasional? Tentu sulit melakukan
sensus tentang hal ini. Maka redaksi SINERGI
yang kebetulan ikut dalam safari bakti sosial
ke Lombok lewat jalan darat selama akhir
sekalian melakukan wawancara. Wawancara
dilakukan secara aksidental terhadap warga
bangsa dari berbagai daerah dan etnik
Indonesia yang kebetulan ditemui.
Ibu dari
Manado ketika ditemui sedang berlibur
bersama keluarganya di Denpasar. Menurutnya
di Manado sejak dulu (sebelum reformasi)
barongsai dan liong meramaikan festival
Imlek. Maka ia pun tidak ragu mengatakan baik
jika Imlek libur karena saling menghargai. Made,
seorang staf hotel di jalan Wilis, Semarang
mengatakan, waktu ia di Sekolah Menengah
Pertama (SMP), di pelajaran memang diajarkan
bahwa Imlek merupakan hari libur nasional.
Tapi buku pelajaran sejarah itu kini sudah
diubah, katanya. Menurut pemuda berusia 22
tahun itu, Lebaran dan Natal kelender merah
(libur), jadi apa salahnya Imlek juga libur.
Di Jatibarang (Jawa Barat), seorang
pengelola restoran masakan Tionghoa
YB yang merupakan etnik asli,
mengatakan bahwa di Jatibarang ada vihara
Khongcu. Tapi yang lebih besar ada di
Indramayu. Di situlah sejak dulu kalau
Imlekan warga etnis Tionghoa maupun asli ikut
mengarak barongsai. Kata pria yang satu
matanya cacat akibat kecelakaan itu,
toleransi beragama tidak ada masalah di
wilayah itu.
Ibu Gouw
asal Solo, yang menurut pengakuannya
masih ada keturunan darah biru dari ibu
buyutnya, dan darah Tionghoa dari kakek
buyutnya, juga memiliki kenangan sendiri. Di
masa kecilnya, kalau Cap Go Meh (15 hari
setelah Imlek), warga etnik Tionghoa maupun
masyarakat setempat berbaur. "Jadi,
kalau kini kembali seperti dulu, tak ada
masalah," lanjutnyaPengelola
penginapan di Gili Nanggu, Lombok, Pak
Edi yang juga hasil asimilasi etnik
Tionghoa dan Sasak (suku asli Lombok),
menganggap positif bila Imlek dirayakan
seperti dulu lagi. Pak Odek asal Bangkalan,
Madura juga menyimpan kesaksian. Sebelum
Imlek dilarang Orba, di waktu menjelang
Imlek, pejabat dan tetangga yang non Tionghoa
biasanya sudah memesan agar dibagi kue Imlek
dari etnik Tionghoa. Atraksi barongsai yang
bisa melompat sampai tiga meter untuk
menangkap angpao juga menjadi atraksi menarik
termasuk bagi warga asli, kata
Odek. Tapi sejak ada larangan dari Orba,
fenomena itu pun belum ia saksikan lagi. (MSb01)
Samseng , Bukan
Sekedar Masakan
Bila Hari Raya
tahun baru Imlek telah tiba, masyarakat
Tionghoa sibuk mempersiapkan segala sesuatu
termasuk di antaranya masakan samseng.
Masakan ini merupakan tradisi yang mempunyai
makna bagi kehidupan manusia.
Menjelang
Hari Raya tahun baru Imlek, masyarakat
Tionghoa umumnya menyi-bukkan diri untuk
menyambut datangnya musim semi. Kesibukan
mereka bermacam-macam dari menyiapkan angpao
sampai sibuk membuat masakan untuk acara
sembahyang. Untuk memperingan pekerjaan, maka
dibagi-bagi penugasannya agar tidak simpang
siur. Bagi kaum wanita ditugaskan untuk
mempersiapkan segala keperluan sembahyang
kepada leluhur. Tugas tersebut bagi kaum
wanita bukanlah hal yang ringan karena mereka
harus mempersiapkan 12 macam masakan untuk
acara sembahyang. Saat merayakan Imlek
masya-rakat Tionghoa hampir dipastikan selalu
membuat Samseng yakni suatu
persembahan untuk melengkapi pergantian tahun
berdasar penanggalan lunar(Imlek).
Tujuan dibuat Samseng tersebut sebagai
perlambang sifat dari hewan bahwa beberapa
sifat yang dimiliki hewan tidak boleh ditiru
oleh manusia. Pembuatan Samseng bagi penganut
agama Tao merupakan bagian dari acara
ritual namun bagi penganut agama lainnya
merupakan tradisi agar perayaan tahun baru
Imlek ini terlihat meriah.
Disebut
Samseng karena masakan itu terdiri dari tiga
jenis binatang yaitu seekor ikan bandeng,
seekor ayam betina, dan sepotong daging babi.
Maksud menyajikan ketiga jenis binatang ini
untuk mengingatkan manusia bahwa yang hidup
di alam dunia ini bukan hanya manusia tetapi
masih banyak mahluk hidup lainnya dan kita
hidup di darat itu memerlukan udara serta
air. Ketiga jenis binatang itu dianalogikan
sebagai lambang kehidupan. Seperti ayam,
hidupnya di darat dan udara karena dia
memiliki sayap tetapi tidak dapat terbang,
kemudian ikan bandeng hidup di dalam air, dan
babi hidup di darat. Menurut Jeta V.T dari
Vihara Hok Tek Ceng Sin Kebayoran Lama,
bahwa masakan samseng ini ditujukan kepada
kita untuk mengingatkan agar sebagai manusia
tidak meniru sifat yang dilakukan oleh ketiga
jenis binatang itu. Misalnya babi, binatang
ini sangat malas kerjanya hanya makan dan
tidur sehingga tidak ada gunanya, karena itu
kita tidak dibolehkan meniru sifat dari babi.
Sedangkan Ayam, kalau binatang ini sukanya
makan berpindah-pindah, misalnya ketika ia
makan yang didepan matanya belum habis ia
sudah berpindah ke tempat lain. Jadi binatang
ini diumpamakan sifat yang serakah untuk itu
kita dilarang meniru sifat serakah tersebut.
Lain halnya dengan ikan bandeng, binatang ini
justru diumpamakan seekor ular karena kulit
ikan itu bersisik, dan pengertiannya dari
ikan bandeng ini agar kita jangan berlaku
jahat pada orang lain seperti ular, karena
dianggap ular itu sangat jahat.
Sembahyang
Tahun Baru Imlek menggunakan Samseng lazimnya
dilakukan antara 1 s/d 7 hari sebelum Imlek.
Sedang-kan pelaksanaan dari pemasakan itu
sendiri dilakukan di masing-masing rumah.
Bagi agama Tao Samseng ini digunakan sebagai
persembahan untuk sembahyang. Dalam melakukan
upacara yang sangat ritual ini, sengaja tidak
diiringi dengan pegelaran tradisi budaya
Tionghoa melainkan khusus hanya sembahyang.
"Sebenarnya masakan samseng ini
bukan hanya pada perayaan hari Raya tahun
baru Imlek melainkan pada acara-acara lain
misalnya pada acara sembahyang kematian yang
ditujukan kepada leluhur," ujar Ibu
Jeta.
Cara penyajian
dari masakan samseng ini cukup sederhana,
Ikan bandeng hanya dibengkokkan, ayam betina
kedua sayapnya diikat, lalu ketiganya itu
diletakkan di salah masing-masing tempat.
Pengolahan masakan ini cukup direbus saja
tanpa harus memakai bumbu macam-macam. Baru
setelah dipersembahkan untuk sembahyang
dibagi-bagikan kepada masyarakat yang
kemudian baru diolah kembali dengan memakai
bumbu sesuai selera masing-masing orang.
Mengenai sejarah masakan samseng, menurut Ibu
Jeta bahwa masakan Samseng ini sudah ada
turun temurun dari nenek moyang , dan sudah
merupakan tradisi bagi masyarakat Tionghoa.
"Walaupun dia bukan beragama Tao kalau
dia mau boleh saja membuat masakan Samseng
ini," lanjutnya pada SINERGI.
(Aras/YuM)
|Refleksi|
|Wawancara|
|Lip-Sus|
|Iptek|
|Ekonomi|
|Kolom TSL|
|Layar|
|
Utama | | Redaksional | |Saran / Kritik Masukkan | |Denah
Alamat
| |Lain-lain |
Copyright © 2000 SINERGI On-Line (Indonesian
Chinesse Magazine) Send Mail to metta@indo.net.id with comments about
this web site
All Rights Reserved
Designed by Rickysept and hosted by www.tripod.com