|Lap-put|
|Wawancara|
|Resensi
Film| |Lip-Sus|
|Hukum|
|Rehat|
||Tinjauan
TSL |Layar
Asal usul Nama
Pondok Cina
Dulu, Pondok Cina
hanyalah hamparan perkebunan dan semak-semak
belantara yang bernama Kampung Bojong.
Awalnya hanya sebagai tempat transit
pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak
berjualan di Depok. Lama-kelamaan menjadi
pemukiman, yang kini padat sebagai akses
utama Depok-Jakarta.
Kota
Madya Depok (dulunya kota administratif)
dikenal sebagai penyangga ibukota. Para
penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian
besar berasal dari pindahan orang Jakarta.
Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan
Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota.
Mereka banyak mendiami perumahan nasional
(Perumnas), membangun rumah ataupun membuat
pemukiman baru.
Pada akhir
tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu
untuk mendiami wilayah itu. Selain jauh dari
pusat kota Jakarta, kawasan depok masih sepi
dan banyak diliputi perkebunan dan semak
belukar. Angkutan umum masih jarang, dan
mengandalkan pada angkutan kereta api.Seiring
dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai
berubah. Pembangunan disana-sini gencar
dilakukan oleh pemerintah setempat. Pusat
hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri
megah. Kini Depok telah menyandang predikat
kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi
Kotif.
Menurut
cerita, awalnya Depok merupakan sebuah dusun
terpencil ditengah hutan belantara dan semak
belukar. Pada tanggal 18 Mei 1696 seorang
pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein,
membeli tanah yang meliputi daerah Depok
serta sedikit wilayah Jakarta Selatan dan
Ratujaya, Bojonggede. Di sana ditempatkan
budak-budak dan pengikutnya bersama penduduk
asli. Tahun 1871 Pemerintahan Belanda
menjadikan daerah Depok sebagai daerah yang
memiliki keresidenan sendiri. Sebagai daerah
baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang
Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun
Cornelis Chastelein pernah membuat peraturan
bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal
dikota Depok. Mereka hanya boleh berdagang,
tapi tidak boleh tinggal. Ini tentu
menyulitkan mereka. Mengingat saat itu
perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa memakan
waktu setengah hari. Untuk mengatasi
kesulitan transportasi, pedagang-pedagang
tersebut membuat termpat transit di luar
wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong.
Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok
sederhana di sekitar wilayah tersebut. Dari
sini mulai muncul nama Pondok Cina.
Menurut cerita
H. Abdul Rojak, sesepuh masyarakat sekitar
Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya
bernama Kampung Bojong. "Lama-kelamaan
daerah ini di sebut Kampung Pondok Cina.
Sebutan ini berawal ketika orang-orang
keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke
pasar Depok. Pedagang-pedagang itu datang
menjelang matahari terbenam. Karena sampainya
malam hari, mereka istirahat dahulu dengan
membuat pondok-pondok sederhana,"
ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah
tersebut ada seorang tuan tanah keturunan
Tionghoa. Akhirnya mereka semua di tampung
dan dibiarkan mendirikan pondok di sekitar
tanah miliknya. Lalu menjelang subuh
orang-orang keturunan Tionghoa tersebut
bersiap-siap untuk berangkat ke pasar
Depok."
Kampung Bojong
berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada
tahun 1918. Masyarakat sekitar daerah
tersebut selalu menyebut kampung Bojong
dengan sebutan Pondok Cina. Lama-kelamaan
nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan
Pondok Cina sampai sekarang. Masih menurut
cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa
hutan karet dan sawah. Yang tinggal di daerah
tersebut hanya berjumlah lima kepala
keluarga, itu pun semuanya orang keturunan
Tionghoa. Selain berdagang ada juga yang
bekerja sebagai petani di sawah sendiri.
Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet
milik tuan tanah orang-orang Belanda. Semakin
lama, beberapa kepala keluarga itu pindah ke
tempat lain. Tak diketahui pasti apa
alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang
keluarga di sana. Hal ini dikatakan oleh Ibu
Sri, generasi kelima dari keluarga yang
sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.
"Saya
sangat senang tinggal disini, karena disini
aman, tidak seperti di tempat lain,"
katanya kepada Sinergi. Dulunya, cerita Sri,
penduduk di Pondok Cina sangat sedikit.
Itupun masih terbilang keluarga semua.
"Mungkin karena Depok berkembang, daerah
ini jadi ikut ramai," kenangnya.
Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke
tempat lain. "Tinggal saya sendiri yang
masih bertahan disini," kata ibu Sri
lagi. Sekarang daerah Pondok Cina sudah
semakin padat. Ditambah lagi dengan
berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan
80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah
kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur
di sepanjang jalan Margonda Raya yang
melintasi daerah Pondok Cina ini. Bahkan pada
jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan
Margonda terkesan semrawut. Maklum, karena
itu tadi, pegawai maupun karyawan yang
tinggal di Depok mau tak mau harus melintas
di Pondok Cina. (Aras/ Irsyad.)
|Lap-put|
|Wawancara|
|Resensi
Film| |Lip-Sus|
|Hukum|
|Rehat|
||Tinjauan
TSL |Layar
|
Utama | | Redaksional | |Saran / Kritik Masukkan | |Denah
Alamat
| |Lain-lain |
Copyright © 2000 SINERGI On-Line (Indonesian
Chinese Magazine) Send Mail to metta@indo.net.id with comments about
this web site
All Rights Reserved
Designed by Rickysept and hosted by www.tripod.com