|Refleksi|
|Lap-put|
|Wawancara|
|Lip-Sus|
|Rehat|
|Kolom TSL|
|Layar|
Hukum:
Perebutan
Hotel Chitra,
Penegakan Hukum Yang Tertunda
15 Tahun
Ini kisah perjuangan
Rahmat Sadeli (Lie Kwe Siang) selama 15
tahun, untuk merebut kembali hak yang
diklaimnya atas Hotel Chitra. Lalu mengapa ia
kecewa terhadap para tokoh etnis Tionghoa?
PADA
TANGGAL 3 Agustus yang lalu, tiba-tiba
saja masyarakat pecinan Glodok dikejutkan
dengan hadirnya sekitar 30 orang aparat dari
kantor ketentraman dan ketertiban (Tramtib)
DKI. Mereka berkumpul di lokasi Hotel Chitra
di Jl Toko Tiga Seberang No.23. Saat itu
sekitar pukul 08.00 wib. Dengan peralatan
segel mereka siap mengeksekusi Hotel Chitra
agar segera ditutup. Penyegelan itu langsung
dipimpin oleh kepala dinas Tramtib DKI Hadi
Utomo dan disaksikan oleh 4 (empat) anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tk I
DKI Jakarta. Hotel tersebut merupakan taruhan
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso untuk
menjalankan agenda reformasi yang dicanangkan
oleh DPRD DKI. Selama ini, Sutiyoso dianggap
lamban, bahkan tidak mengindahkan agenda
reformasi yang dinyatakan oleh beberapa
fraksi besar di DPRD. Terbukti empat anggota
Dewan yang datang meyaksikan eksekusi
penyegelan Hotel Chitra adalah Samsudi Bakri
(FPAN), Lambertus Gaina dan Muhammad Soleh
(FPDIP), Muhammad Banang dari fraksi
Persatuan Pembangunan (FPP). Hotel Chitra
dianggap tidak membayar pajak ke dinas
pariwisata selama hampir 15 tahun. Selain
itu, hotel Chitra yang dikelola oleh PT. Ayu
Kumala Lestari (AKL) milik mantan Wagub DKI
Jakarta Asmawi Manaf terbukti mempergunakan
akte hasil RUPS untuk mencetak surat saham
baru yang terbukti fiktif.
Pendirian AKL juga tidak ada sangkut pautnya
dengan kepemilikan hotel yang dibangun murni
oleh Sadeli. Akta hasil RUPS tidak lebih dari
sekedar akal-akalan keluarga mantan pejabat
di lingkungan Pemda Jakarta, dan beberapa
pengacara yang berkantor di Jakarta, antara
lain OC Kaligis.
Hotel
berlantai lima dengan kapasitas 100 unit
kamar dulunya dibangun oleh seorang pengusaha
keturunan Tionghoa, yaitu Lie Kwe Siang atau
Rahmat Sadeli. Tanah dengan HGB No.7 Angke,
luas tanah 1.402 meter persegi berikut rumah
tua berupa losmen merek Nam Thiam
itu dibeli Rahmat dengan akta jual-beli
No.53/1976. Tetapi sertifikat No.7 Angke itu
belum dibalik nama, berhubung HGB/Angke No. 7
tersebut berakhir pada tanggal 23 September
1980. "Lalu saya ajukan permohonan
perpanjangan dan telah diperoleh kembali HGB
baru atas tanah tersebut yaitu HGB No.527
tanah seluas 1.227 meter persegi. Luas tanah
menjadi susut karena terkena pelebaran
jalan," tutur Rahmat Sadeli kepada
Sinergi. Tetapi nama sejumlah perubahan
seperti Lie Kwe Siang berganti menjadi Rahmat
Sadeli, nomor sertifikat serta adanya
penyusutan tanah, membuat perlunya dibuat
akte jual beli yang baru.
"Tetapi
sebelum dibuatkan akte jual beli yang baru,
akte yang sebelumnya harus dibatalkan
terlebih dahulu. Hal ini untuk menghindari
keragu-raguan dari pihak lain, termasuk
instansi-instansi yang terkait," tutur
Sadeli. Maka sekitar tahun 1982 diajukan
rekomendasi untuk membangun hotel beserta
izin mendirikan bangunan-IMB-nya. Pada tahun
1983, Pemda DKI Jakarta memberikan izin
pendahuluan untuk melaksanakan pekerjaan
sampai dengan pondasi. Biaya pembangunan
tersebut, menurut Sadeli menggunakan biaya
sendiri. Selesai dibangun, Sadeli mengajukan
izin operasional hotel Chitra dan
dioperasikan pada awal tahun 1985.
Ternyata
persahabatan Sadeli dengan Asmawi Manaf tidak
langgeng. Seperti yang dituturkan Sadeli,
bahwa ia dulunya tinggal tidak jauh dari
rumah Asmawi Manaf di kawasan Menteng Jakarta
Pusat. Pada saat hubungan mereka masih
mesra - Sadeli dan Asmawi
beberapa kali menjajaki kemungkinan
berbisnis. "Bahkan kami pernah pergi ke
luar negeri bersama-sama," tutur Sadeli.
Begitu akrabnya persahabatan keduanya, Asmawi
pun mengajak Sadeli untuk bekerja sama
mendirikan sebuah PT yang bergerak di bidang
perhotelan. Rencana awalnya adalah mendirikan
hotel baru dan shopping center,
usaha di bidang kepariwisataan di Jl.
Jenderal Sudirman Jakarta Pusat. Pada tanggal
9 September 1982 dibuatlah PT Hotel Chitra,
akan tetapi nama tersebut ditolak oleh
Menteri Kehakiman RI dan diubah menjadi PT
Chitra Lestari. Tetapi nama tersebut juga
ditolak dan diganti dengan PT Ayu Kumala
Lestari (AKL) pada tanggal 9 Mei 1984.
Susunan direksi AKL juga terbentuk dengan
perincian saham, Rahmat Sadeli dan Achmad
Hendra Manaf masing-masing Rp.48 juta.
Sedangkan Luay Abdurahman Munir dengan 4
lembar saham senilai Rp 4 juta. "Tetapi
tidak ada penyetoran saham dari mereka-mereka
(Achmad Hendra dan Luay Abdurahman, red).
Asmawi juga tidak membiayai sepeser pun hotel
milik saya. PT AKL itu didirikan setelah
hotel selesai pembangunannya. PT AKL belum
berdiri, tetapi hotel sudah selesai, jadi apa
korelasinya antara akta RUPS dengan
pembangunan dan kepemilikan hotel ?"
tutur Sadeli sembari bertanya.
Sementara itu
kuasa hukum AKL, Pontas Sinaga dari Maraja
& Partners mengatakan bahwa pihaknya akan
membicarakan kembali masalah hotel Chitra
dengan Pemda DKI. "Selama belumada
keputusan dari MARI, AKL sudah berkali-kali
mengajukan ijin ke dinas pariwisata, tetapi
selalu ditolak," kata Pontas. Sementara
itu, jenis pajak lainnya sudah di penuhi AKL
sebagai kewajiban pengelola hotel.
Tetapi tanpa
sepengetahuan Rahmad Sadeli, Asmawi yang asli
Betawi selaku kuasa dari anaknya sendiri
Achmad Hendra Manaf mengadakan Rapat Umum
Pemegang Saham AKL di kantor pengacara OC
kaligis. Hasil RUPS tersebut juga akhirnya
memutuskan pemberhentian Rahmat Sadeli
sebagai direktur AKL. RUPS tersebut juga
mengangkat pengurus baru AKL, yaitu
Rhumanawati Manaf (istri muda Asmawi) sebagai
direktur utama, Anas Mappe Siri (direktur),
OC Kaligis (komisaris utama), Luay Abdurahman
Munir (komisaris), Azhary (komisaris). Lalu
dengan mempergunakan akte hasil RUPS, pada
tanggal 25 Juni 1986 pukul 11.00 siang,
direksi dan komisaris AKL mendatangi hotel
merek Chitra di Toko Tiga
Seberang. Mereka memaksa Rahmat Sadeli untuk
menyerahkan hotel tersebut. Dengan
menggunakan beberapa oknum ABRI, pemilik yang
sah diusir dengan kekerasan. Sadeli telah
melapor ke Polres Jakarta Barat atas tindakan
Rhumanawati Manaf Cs.
Beberapa kali
kedua pihak saling gugat di pengadilan, baik
pengadilan perdata maupun ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Persoalan memperebutkan hotel
semakin kisruh karena dua perkara itu diputus
berbeda oleh Mahkamah Agung. Pada perkara
yang satu, hotel tersebut dinyatakan sebagai
kekayaan AKL walaupun tidak ada penyetoran
saham dari Asmawi Cs. Saham Sadeli sebesar 48
persen di AKL masih diakui. Namun, dalam
keputusan tersebut tercakup pula pengakuan
bahwa hotel itu bukan semata-mata milik
Rahmat Sadeli. Sadeli yang tetap bersikukuh
dengan hak miliknya mengatakan bahwa hasil
RUPS memang menghasilkan surat yang asli,
tetapi sahamnya adalah palsu. Rhumanawati
yang memegang 48 lembar saham AKL dari anak
kandungnya, Achmad Hendra Manaf, ternyata
mencetak lagi surat saham yang baru. Ia
memberikan kembali surat-surat saham yang
baru kepada anaknya termasuk
Rahmad Sadeli. "PT Ayu itu adalah
perusahaan fiktif, sahamnya juga fiktif,
serta tidak ada kaitannya dengan Hotel Chitra
milik saya. Trik-trik yang dimainkan oleh OC
Kaligis dengan memalsukan surat saham
merupakan hal yang sering dilakukan pada
zaman Orde Baru," tutur Sadeli. Asmawi
Cs juga beberapa kali meminta bantuan
management Bank Bumi Daya, tempat Sadeli
mendapat bantuan kredit untuk pengelolaan
Hotel Chitra. Tetapi dengan menganut prinsip
menjaga kerahasiaan bank, permintaan Asmawi
ditolak pihak BBD. "Pihak BBD juga
mengetahui bahwa hotel tersebut masih menjadi
sengketa," papar Sadeli. Upaya Asmawi
untuk mengelabui BBD agar terkesan ia (Asmawi
Cs, red) ikut dalam membiayai pembangunan
hotel.
Perjuangan
Sadeli sebaliknya mengharuskan ia berhadapan
dengan aparat keamanan. Dengan dalih, bahwa
Asmawi ikut membiayai pembangunan hotel dan
mengusahakannya melalui kredit Bank Bumi
Daya, Sadeli ditahan selama beberapa bulan di
rutan Salemba. Pihak Asmawi juga menuding
Sadeli menyelewengkan keuangan pengelolaan
hotel. Keputusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MARI) No. 3692 K/Pdt/1987, No. 86
K/TUN/1994, No. 997 K/Pid/1994, menyatakan
Asmawi Manaf telah merampas hotel tersebut.
Kekuatan hukum tetap dari turunan putusan
MARI, pengurus AKL telah melakukan perbuatan
melawan hukum. Pemaksaan dalam perbuatan yang
tidak menyenangkan atau dengan ancaman
kekerasan baik terhadap orang itu, atau
terhadap orang lain, dikenakan ancaman
hukuman pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP jo pasal
55 ayat (1) ke 1 KUHP. MARI juga berpendapat
bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
tanggal 15 Pebruari 1992 tidak dapat
dipertahankan lagi dan harus dibatalkan, dan
MA akan mengadili sendiri perkara tersebut.
MARI telah memtuskan bahwa para terdakwa,
yaitu Rhumanawati Manaf, Luay Abdurahman
Munir, didakwa 6 bulan penjara dengan masa
percobaan 2 tahun karena terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana
seperti yang dituduhkan jaksa penuntut umum
PN Jakarta Barat. "Tetapi mereka
nyata-nyatanya tidak dijebloskan dalam
penjara, karena pada saat itu Asmawi masih
berpengaruh," tandas Sadeli.
Mendagri dan
dinas Pariwisata DKI telah meminta gubernur
DKI segera menutup hotel tersebut karena
tidak ada izinnya. Sejak Gubernur DKI Wiyogo
Atmodarminto mencabut izin pariwisata Hotel
Chitra dari AKL pada tanggal 16 Januari 1990
hingga desakan DPRD dalam paparan kata akhir
terhadap laporan pertanggungjawaban (LPJ)
Gubernur DKI Sutiyoso pada tanggal 20 Juli,
Rhumanawati tidak mengindahkan. Ia terus
mengeruk keuntungan dari pengoperasian hotel
tanpa membayar pajak. Bahkan Rhumanawati
semakin berani dengan membuka gerai baru di
hotel tersebut, yaitu Chitra International
Restaurant. Hal ini membuat anggota Dewan
semakin geram terhadap Gubernur Sutiyoso.
Desakan Dewan mencapai puncaknya pada tanggal
3 Agustus, ketika aparat Tramtib DKI dan
provost menyegel dengan paksa hotel tersebut.
Hal ini merupakan taruhan Sutiyoso untuk
menunjukkan wibawa Pemerintah Daerah Jakarta
dan gengsi Sutiyoso untuk bisa dipercaya
sampai masa pemerintahannya berakhir pada
tahun 2002 mendatang.
Sayang,
Sinergi belum berhasil mengontak pihak
mantan teman yang kini jadi
lawan Pak Lie dalam kasus Hotel
Chitra.
Era reformasi
dimana penegakan hukum betul-betul
dicanangkan memotivasi Sadeli untuk terus
memperjuangkan hak miliknya. Sadeli yang
telah berumur 76 tahun, setiap kali ditanya
kapan pensiun, dijawab sampai hotel miliknya
dikembalikan ke pemilik yang sah, yaitu
Rahmat Sadeli sendiri. Ia bahkan bangga
dengan perjuangannya selama kurang lebih 14
tahun menegakkan supremasi hukum. Walaupun
sempat putus asa karena tidak ada etnis
Tionghoa ataupun penegak hukum negara tidak
ada yang mau membelanya, ia tetap
bersemangat. "Perjuangan saya seperti
memotivasi etnis Tionghoa lainnya untuk tidak
mau diinjak-injak begitu saja oleh
penguasa," tutur Sadeli. Rasa bangga
Sadeli kiranya juga tidak berlebihan
mengingat hampir semua fraksi-fraksi di DPRD
propinsi tk I Jakarta mendukung perjuangan
Sadeli. Beberapa ketua dan anggota fraksi
yang mendesak Sutiyoso menyelesaikan kasus
hotel tersebut antara lain Posman Siahaan
dari fraksi Partai Persatuan dan Keadilan
(FPKP), Muhammad Banang dari fraksi Persatuan
Pembangunan (FPP), Samsudi Bakri dari fraksi
Partai Amanat Nasional (FPAN), Lambertus
Gaina dari fraksi PDI Perjuangan (FPDIP), dan
fraksi lainnya. Walaupun demikian, Sadeli
tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa
terhadap elit Tionghoa, baik dari jalur
politiik ataupun sosial. "Tidak ada satu
orang Tionghoa pun yang mau membela saya.
Saya sudah ketemu para konglomerat yang dekat
dengan pejabat, ataupun anggota DPRD yang
keturunan Tionghoa, tetapi mereka sepertinya
diam saja,"tambah Sadeli. L (MSb//Setiawan)
|Refleksi|
|Lap-put|
|Wawancara|
|Lip-Sus|
|Rehat|
|Kenangan TSL|
|Layar|
|
Utama | | Redaksional | |Saran / Kritik Masukkan | |Denah
Alamat
| |Lain-lain |
Copyright © 2000 SINERGI On-Line (Indonesian
Chinesse Magazine) Send Mail to sinergi-mag@china.com with comments about
this web site
All Rights Reserved
Designed by Rickysept and hosted by www.tripod.com