|Refleksi|
|Lap-put|
|Wawancara|
|Lip-Sus|
|Iptek|
|Ekonomi|
|Layar|
Kolom Tan
Swie Ling:
Kesan Sebuah Perjalanan
Senja di
Tepi Sungai Mutiara
Guang Zhou, Desember
10, 2000
Diantara indahnya
tepi sungai mutiara Dalam keremangan senja
niscaya Halus sutera asmara Merangsang
berpasang Bahagia remaja merenda cinta Serasa
hati iri dibuatnya berdesak tanya di dalam
dada Mungkinkah Indonesia bisa Mencipta
sarana bahagia serupa Bagi para remajanya?
Untuk pertama kali, terbawa suatu
keperluan, aku menapakkan kaki di daratan
bumi Tiongkok. Sekitar pukul 13.00 waktu
setempat, Minggu, 10/12/2000, kakiku
menyentuh tanah di bandara Guangzhou. Bagai
burung baru lepas dari sangkar, hatiku galau
oleh ketiadatahuan arah. Oleh karena itu
betapa besar rasa syukur dan terima kasihku
kepada Tuan rumah penerimaku. Karena bukan
saja telah menjemputku di Bandara, sepertinya
juga sangat paham isyarat getaran lapar
perutku. Karena serta merta aku dibawa ke
sebuah rumah makan. Sekalipun sebelumnya aku
sudah pernah mendengar kalau di seluruh bumi
Tiongkok, dapur Guangzhou-lah yang paling
mampu menyajikan makanan terlezat, namun
jujur aku tak pernah menyangka akan selezat
itulah makanan Guangzhou yang kukunyah
diantara gigi-gigi dan lidahku ketika itu.
Sehingga tanpa berucap dalam hati aku
berulang-ulang mengucapkan terima kasih untuk
jamuan makan oleh Tuan rumah tersebut.
Usai makan
siang, bersama semobil aku diajak
mengelilingi kota Guangzhou melalui
jalan-jalan biasa dan jalan-jalan layang yang
bagai naga raksasa melilit melingkari seluruh
tubuh kota. Sejauh pandang di kanan-kiri
jalan kulihat gedung-gedung bangunan
bertingkat yang hampir rata-rata tingginya.
Seraya mataku menatap kanan-kiri jalan,
kulayangkan ingatanku ke Jakarta.
Kubandingkan dengan pemandangan yang sedang
kulihat di Guangzhou. Gedung-gedung tinggi di
Jakarta tidak semerata di Guangzhou. Karena
di Jakarta baru tampak di sekitar kawasan
jalan Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto dan
Rasuna Said. Itu pun bentuknya masih seperti
gigi kakek-kakek, tidak rata karena masih
banyak yang ompong. Kurenungi ini sebagai
kenyataan hasil pembangunan yang dilakukan
baik oleh Tiongkok maupun Indonesia. Hari
sudah sore. Kami beristirahat di salah sebuah
tepian pantai sungai mutiara. Kutebar
pandangku ke seluruh permukaan air.. Dan
sejauh daya mataku dapat menangkap, tak
kulihat ada sampah di permukaannya. Semakin
kupandangi air sungai itu, terutama saat
keremangan senja mulai menyelimuti
permukaannya, getar-getar gelombang air yang
tertimpa cahaya lampu jalanan yang mulai
menyala meneragi arela sekitarnya, tanpa
terasa aku mengangguk membenarkan betapa
tepatnya pemberian nama pada sungai di
depanku itu sebagai sungai mutiara. Karena
gerak air yang tak dapat kugambarkan dengan
kata-kata saat itu, indah berkilauan bak
kehitaman permadai bertaburkan berjuta
mutiara. Sehingga dalam lelap kekagumanku,
tanpa sadar kuberlagak bagai seorang penyair.
Kurenungkan dalam benakku untaian baris-baris
kata seperti tertulis di atas.
Tentu saja
baris-baris kata tersebut tak punya nilai
puisi. Karenan memang sesungguhnya
kurenungkan itu sekedar untuk menyatakan
kesimpulan bahwa semua yang kulihat itu tidak
lain adalah karya sebuah pemerintahan yang
sungguh-sunguh benar mencintai rakyatnya.
Karena dalam keyakinanku, hanya sebuah
pemerintahan yang benar-benar mencintai
rakyatnya sajalah yang akan bersedia bersusah
payah membangunkan sarana bahagia bagi
seluruh rakyatnya, bagi para remajanya
seperti yang kulihat pada tepian sungai
mutiara saat itu. Rasa kagum dan iri serasa
bergolak dalam dadaku. Betapa tidak. Di
Jakarta kemana pun aku dan orang-orang
sepertiku pergi, selalu berdesak-desak dan
bergelantungan di pintu kendaraan sementara
tak terhindarkan saling mencium bau keringat
sesama penumpang yang berkepentingan sama.
Membayar tumpangan agar diantarkan ke tempat
tujuan. Terseok-seok bus bergerak berbaur
dengan mikrolet, bajaj dan sepeda motor di
jalur lambat yang sempit. Karena jalur cepat
yang lebar diperuntukkan bagi mobil-mobil
pribadi yang memiliki kebebasan berjalan
dijaur cepat maupun lambat sesuai dengan
kebutuhannya. Karena itu, mustahilah di
Jakarta orang bisa mengendarai sepeda
bersama-sama dengan sepeda motor dan
mobil-mobil di jalan-jalan raya seperti yang
kulihat di Guangzhou.Demikian pula sama
mustahilnya kita bisa menemukan orang-orang
yang tak berkendaraan berjalan kaki dengan
aman. Karena kesemua itu hanya dapat terjadi
dalam karya sebuah pemerintah yang
sungguh-sungguh bertanggungjawab lagi sangat
mencintai rakyatnya. Dan karya demikian hanya
dapat diciptakan oleh sebuah pemerintah yang
kuat lagi baik.
Benakku
mencoba mencari jawab. Mengapa Tiongkok sudah
mulai berhasil, sementara Indonesia hal
serupa mmasih berbentuk bayang-bayang lamunan
saja? Padahal pembangunan Indonesia start
lebih dahulu ketimbang Tiongkok. Padahal lagi
jumlah penduduk Indonesia hanya 1/6 penduduk
Tiongkok. Sehingga logikanya tingkat
kesulitan pembangunan di Indonesia relatif
lebih rendah ketimbang tingkat kesulitan
pembangunan di Tiongkok. Belum lagi menurut
berita-berita koran baik Tiongkok mau pun
Indonesia merupakan negara berperingkat
tertinggi di bidang korupsi skala dunia. Tapi
mengapa pembangunan yang sama-sama digerogoti
penyakit korupsi, memberikan hasil yang
berbeda? Indonesia sekedar membiarkan
rakyatnya menggunakan kaki pemberian Tuhan
untuk berjalan kaki dengan aman saja belum
bisa, sementara Tiongkok sudah mulai mampu
membangun sarana bahagia bagi rakyatnya.
Dalam pencarianku atas pertanyaan-pertanyaan
diatas, tersimpul jawaban. Bahwa keberhasilan
pembanguan di sesuatu negeri hanya dapat
terjadi man kala di negeri bersangkutan
terdapat sebuah pemerintahan yang kuat lagi b
a i k. Maksudnya keberhasilan sebuah
pembangunan mutlak membutuhkan adanya sebuah
pemerintah yang berkemampuan mencipta dan
mempertahankan stabilitas disegala sektor
kehidupan dan memiliki hasrat bersemangat
membahagiakan seluruh rakyatnya.
Syarat
demikian di Tiongkok tersedia. Demi
mempertahankan stabilitas pemerintah Tiongkok
pemerintahnya masih mampu mampu melaksanakan
vonis mati pengadilan atas berbagai kejahatan
termasuk korupsi, yang kesemuanya itu tentu
saja merupakan pencerminan hasrat baik
pemerintah untuk mem-bahagiakan rakyatnya.
Sementara di Indonesia sekalipun pernah ada
pemerintahan yang kuat (rezim Orba) namun ia
bukanlah pemerintah yang baik. Karena
perilaku rezim orba sama sekali tidak berbeda
dengan perilaku pemerintah penjajah asing
sebelum Indonesia merdeka. Sama sekali tak
bersemangat membahagiakan rakyat banyak.
Dengan dalih trickle down effect,
pembangunan dipacu untuk mengejar laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akibatnya
hasil pembangunan terakumulasi diujung puncak
piramida ekonomi, yang secara sosial hanya
merupakan kelompok dan kroni-kroni rezim orba
sendiri saja. Sehingga sarana bahagia hasil
pembangunan otomatis hanya terbatas dinikmati
para penyangga kekuasaan rezim saja.
|Refleksi|
|Lap-put|
|Wawancara|
|Lip-Sus|
|Iptek|
|Ekonomi|
|Layar|
|
Utama | | Redaksional | |Saran / Kritik Masukkan | |Denah
Alamat
| |Lain-lain |
Copyright © 2000 SINERGI On-Line (Indonesian
Chinesse Magazine) Send Mail to metta@indo.net.id with comments about
this web site
All Rights Reserved
Designed by Rickysept and hosted by www.tripod.com