Wetmarket

Click here 'n you'll know it..

|Refleksi| |Wawancara| |Lip-Sus| |Iptek| |Ekonomi| |Kolom TSL| |Layar|

Lipsus :

Islam Tionghoa di Nusantara

Antara Berdagang dan Penyebaran Agama

Kita semua tahu bahwa tanah asal agama Islam ialah negara Arab, tepatnya kota Mekah/Medinah. Dalam penyebarannya ke wilayah nusantara selain dilakukan oleh orang Arab, ternyata ada pula orang Tionghoa.

Masih ingat dengan pernyataan KH. Abdurrahman Wahid yang dilontarkan sekitar akhir tahun 1999? Presiden RI ke-4 ini pernah menyatakan bahwa nenek moyangnya (keluarga KH. Hasyim Ashari, pendiri organisasi massa Nadhalatul Umat) aslinya juga meru-pakan keturunan etnis Tionghoa yang punya marga Tan. Pernyataan tersebut ternyata menimbulkan kekagetan bahkan yang tak kalah menariknya adalah kontroversi di tengah masyarakat. Publik seakan setengah tak percaya apa yang dilontarkan karena berkaca dari tindakan Gus Dur dimana selalu memberikan ungkapan yang ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling. Namun terlepas dari rasa kaget dan kontroversi, kita tak bisa pungkiri bahwa memang Tiongkok atau China telah menjalin hubungan dengan nusantara sejak berabad-abad yang lalu. Hal itu diperkuat dari literatur sejarah, bukti ataupun pendapat dari berbagai pihak, memang demikian adanya. Sebelum kita menarik benang merah dan membicarakan tentang perkembangan agama Islam di tanah air, sebaiknya kita kenal dahulu pula perkembangan islam terutama di masa Dinasti Ming. Berawal dari tentara Mongolia di bawah pimpinan Djenghis Khan berhasil membuat markas besar di daerah Islam/Hanafi di Turkistan. Dari sana kemudian tentara Mongolia bergerak ke mana-mana. Daerah Turkestan, Bochara dan Samarkand adalah pusat perkembangan agama Islam /Hanafi. Banyak diantara tentara Mongolia yang menikah dengan wanita-wanita Islam dari daerah tersebut.

Setelah Kubilai Khan mengu-asai seluruh Tiongkok dan mendirikan dinasti baru yang bernama Dinasti Yuan, maka tentara dan orang-orang Mongolia disebar di seluruh Tiongkok dan negara-negara jajahannya di dataran tinggi Yunan serta negara-negara di sepanjang pantai Laut Cina. Namun setelah setelah Dinasti Yuan dapat dikalahkan oleh Chu Yuan Chang, orang-orang Mongolia yang letaknya terpencar dan tersebar dipelbagai daerah, segera meninggalkan kewar-ganegaraannya dan masuk warga daerah tempat tinggalnya. Ketika pemerintahan Dinasti Yuan, hanya agama Buddha dan Tao yang dapat berkembang di Tiongkok. Adanya agama Islam tidak pernah disebut. Sudah pasti bahwa para pemeluknya termasuk golongan kecil atau minoritas. Pada masa dinasti Ming, agama Islam/Hanafi mendapat kesempatan untuk berkembang. Sebagian besar dari penduduk daerah Yunan, Shensi dan Hopei memeluk agama Islam/Hanafi. Ma Huan yang mengikuti laksamana Cheng Ho sendiri dalam perjalanannya ke Asia Tenggara yang dilakukan pada tahun 1406 adalah pemeluk agama Islam/Hanafi. Laksamana Cheng Ho sendiri adalah orang Tionghoa Muslim.

Dalam ekspedisi pada tahun 1431-1433 ke negara-negara di sebelah barat Selat Malaka di bawah pimpinan Cheng Ho dengan membawa armada sebanyak 62 buah serta tentara yang berjumlah 27.800. Bagi yang beragama Islam mendapat kesempatan untuk naik kapal Arab ke Jeddah. Selanjutnya mereka mengunjungi Mekah. Banyak orang Campa yang mengaku bahwa pengislaman negara Campa terjadi pada abad 11. Hingga sekarang belum diperoleh bukti-bukti yang membenarkan pengakuan itu. Kiranya pengislaman negara Campa itu perlu dihubungkan dengan pendudukan dataran tinggi Yunan dan pantai-pantai Laut Cina oleh tentara Mongolia di bawah pimpinan Kubilai Khan. Sudah sejak tahun 1253 dataran tinggi Yunan diduduki oleh tentara Mongolia. Aliran Agama Islam di Campa ialah Mazhab Hanafi. Pengislaman negara Campa terjadi selama pendudukan tentara Mongolia di daerah Yunan. Seandainya pengislaman itu akibat pertemuan antara para pedagang Campa dan Pasai, maka aliran agama Islam ialah aliran Syi’ah. Oleh karena alirannya adalah aliran Hanafi, maka pengislaman Campa melalui pendudukan tentara Mongolia. Jadi dalam pertengahan abad ke-13.

Persebaran ke tanah Air. Dalam sebuah buku karangan Prof Slamet Mulyana disebutkan bahwa persebaran agama Islam di tanah air berawal ketika pada tahun 1403 seluruh Tiongkok dikuasai oleh kaisar Yung lo dari radjakula Ming. Sejak Yung lo berkuasa, langkah yang diambil adalah menen-tramkan keadaan, memulihkan kesejah-teraan rakyat dan hubungan antara Tiongkok dan negara-negara asing. Perutusan yang pertama dikirim pada tahun 1403 dari Tiongkok menuju Jawa dan Kalikut. Perutusan itu dipimpin oleh laksamana Yin Ching. Perutusan singgah di Malaka. Parameswara sebagai penguasa di kampung Malaka ternyata tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia memper-gunakan kesempatan itu dengan menemui laksamana Yin Ching dan minta supaya diakui oleh Kaisar Tiongkok sebagai penguasa pantai Malaka. Yin Ching yang memang sedang bertugas untuk mencari hubungan dengan negara-negara asing, segera menyanggupinya. Pengakuan itu sangat penting karena akan memperoleh perlindungan dan bantuan dari Tiongkok bila Malaka pada suatu saat di serang oleh tentara Siam. Kemudian perutusan dilanjutkan dari tahun 1405 sampai 1431 dengan dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, disertai juru bahasa Ma Huan dan Feh Tsin. Kedua-duanya pandai berbahasa Arab.

Pada tahun 1407 kota Palembang minta bantuan kepada armada Tiogkok yang ada di Asia Tenggara untuk menindas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang mengganggu ketentraman. Kepala perampok Chen Tsu Ji berhasil diringkus dan dibawa ke Peking. Semenjak itu laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam di kota Palembang, yang sudah ada sejak zaman Sriwijaya banyak didiami oleh orang-orang Tionghoa. Selain di Palembang dibentuk pula masyarakat Tionghoa Islam di Sambas. Itulah masyarakat Islam Tionghoa yang pertama di Nusantara. Tahun-tahun berikutnya menyusul pembentukan masyarakat Islam Tionghoa dipelbagai tempat di tepi pantai pulau Jawa, Semenanjung dan Filipina.

Pembentukan masyarakat Tionghoa dipelbagai tempat dipantai itu sangat penting sekali artinya untuk hubungan dagang antara Tiongkok dan negara-negara yang bersangkutan, dan penyaluran pengaruh Tiongkok. Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagangan dan politik laksamana Cheng Ho banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari Yunan. Dengan sendirinya soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan sholat bagi umat Islam diberbagai tempat di-dirikan mesjid. Catatan sejarah tidak hanya berhenti di situ, tetapi pada bagian lain. Seperti misalnya pada masa pemerintahan Malikul Saleh negara Samudera Pasai men-dapat kunjungan pe-ngarang Marco Polo dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia pada tahun 1292. Pada masa pemerintahan sultan Ahmad Bahian Sjah Malikul Thahir, Samudera Pasai dikunjungi oleh Ibnu Batutah dari Afrika Utara dalam perjalanannya ke Tiongkok. Kunjungan Ibn batutah di Samudra Pasai berlangsung pada tahun 1345 dalam perjalanan ke Tiongkok dan pada tahun 1345 dalam perjalanan pulang dari Tiongkok.

Namun demikian ada catatan yang lain dimana hingga sekarang masih kontroversi, yakni tentang beberapa Wali Songo yang keturunan Tionghoa. Penjelasan tersebut lengkap dimuat di sebuah buku karangan Prof. Slamet Muljana pada tahun 1970. Tapi ternyata buku itu di larang untuk diterbitkan dan hingga sekarang belum ada penjelasan dari pihak yang berwenang. Untuk itu mungkin sekarang saat yang tepat untuk memberikan klarifikasi dari pihak yang berkepentingan. Seperti Depag, Majelis Ulama Indonesia, NU, Muhammadiyah, serta organisasi Islam yang lainnya. (MSb//YuM)

Tidak Ada Perbedaan Suku Dalam Islam

Islam memandang semua umat manusia adalah bersaudara. Apalagi Allah SWT menciptakan manusia untuk Lil a Tarofu (untuk saling kenal mengenal) termasuk pula etnis Tionghoa. Dan berbicara tentang etnis Tionghoa ternyata peranannya khususnya dalam berdakwah tak kalah dengan yang lainnya.

Masih ingat peristiwa 13-14 Mei ’98 yang lalu? Peristiwa kelabu yang menerpa bangsa Indonesia itu tentu tak pernah terlupakan oleh siapapun. Kejadian rasialis itu ternyata banyak yang menjadi korbannya etnis Tionghoa. Dan dampaknya ternyata luar biasa. Dimana-mana khususnya toko, rumah ataupun pabrik banyak bertuliskan ‘Ini Milik Pribumi’, ‘Ini Milik Pak Haji’. Padahal kalau mau jujur rumah, toko ataupun pabrik itu ada sebagain milik etnis Tionghoa. Dari kejadian itu, apa yang bisa dipetik? ternyata rasa aman atau safety adalah jawabannya. Karena dengan melakukan hal itu, sudah barang tentu terhindar dari amukan massa. Lalu timbul pertanyaan lagi, apakah dengan menggunakan simbol agama terutama Islam, akan benar-benar terjamin keamanannya? Tentu pertanyaan ini harus dijawab oleh etnis Tionghoa.

Andai saja, kita dari berbagai pihak mau menyadari, sesungguhnya hal itu jangan dilakukan. Mengapa? Karena dari catatan sejarah sesungguhnya kedua pihak yakni Islam dan Tionghoa mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Menurut M. Najib Subroto, SE dari DPP Partai Keadilan,"Sesungguhnya memang di awal-awal mereka (Tionghoa) banyak berperan terhadap pola-pola pengembangan Islam di Indonesia. Memang ada hubungan, kalau kita lihat sejarah tentang awal-awalnya yang bersimbiosis dengan walisongo untuk pengembangan Islam."

Hal serupa juga diungkapkan oleh Prof. Drs. H. Usman Effendy, MBA, Msc, Ketua DPP PITI dan H. Syarif S Tanudjaja, dari Yayasan Karim Oei. Usman Effendy mengungkapkan bahwa memang erat sekali hubungan antara Islam dengan Tionghoa. Sedangkan Syarif S Tanudjaja bertutur, "Menurut sejarahnya, Etnis Tionghoa sudah ada sejak imigran datang ke Indonesia. Selain berdagang mereka juga ada yang membawa agama Islam." Dari ketiga pendapat di atas, jadi jelaslah bahwa kita tak bisa pungkiri memang ada hubungan antara Islam dan Tionghoa di tanah air. Lalu kenapa banyak umat Islam banyak yang melakukan hal itu dan bagaimana sebenarnya Islam memandang etnis Tionghoa serta bagaimana pemecahan masalahnya?

Ada yang mengatakan bahwa Islam melakukan hal hal itu karena warisan dari penjajahan yang telah mengobrak-abrik sendi kehidupan bangsa. Adrian, salah seorang pemuda Lao Tze, Jakarta kepada SINERGI menceritakan bahwa saat ini etnis Tionghoa tidak lepas dari pri dan non pri. Hanya saja ada kesalahpahaman di pihak Islam karena menurut orang Islam jika WNA masuk Islam maka dianggap bukan keturunan lagi. Sedangkan anggapan tersebut salah karena kami tetap orang keturunan, dan berdasarkan sejarahnya di Indonesia telah ditanamkan oleh Belanda bahwa orang keturunan masuk Islam dianggap orang pribumi karena dulunya belanda telah mengolong-golongkan. Karena takut dianggap seperti itu akhirnya ketika etnis Tionghoa masuk Islam dikucilkan dari lingkungan minoritas. Sedangkan Islam dalam memandang etnis Tionghoa sebenarnya tidak ada perbedaan. KH. Zainuddin MZ, dalam sebuah Tabligh Akbar secara eksplisit mengungkapkan bahwa persau-daraan, keber-samaan atas da-sar keadilan dan kebenaran yang terlepas dari ras, dari mana dia datang, apapun warna kulitnya, dan suku apapun dilahirkan, semuanya adalah saudara.

Lain lagi pendapat dari M. Najib Subroto, SE. Menurut penuturannya bahwa dalam Islam, setiap orang yang sudah masuk Islam maka disitu tidak ada lagi dikotomi. Islam tidak pernah membedakan suku. Allah SWT pernah berkata: mereka diciptakan dalam kabilah-kabilah. Untuk apa? Lil a Tarofu (untuk saling kenal mengenal). Dan kemulian manusia diukur dari ketakwaan pada Allah SWT, sehingga kalau dia sudah memeluk Islam, tidak mengalami lagi oh… ini Islam Tionghoa, Oh…dia minoritas. Mereka dianggap sama. Dan sesungguhnya kalau kita melihat persoalan ini dari kaca mata Islam, Islam itu di setiap negara sesungguhnya dia tak membedakan di dalam persolan-persoalan yang sifatnya muamalah atau sifatnya hubungan kemanusiaan. Sampai-sampai kalau kita punya tetangga non-Islam, bila kita tak memprhatikannya, ini perbuatan yang salah. Rasulullah pernah bersabda: barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, beriman kepada Allah dan hari Kiamat, hendaklah dia memperhatikan tetangga. Disinilah Rasulullah katakan tetangga. Tetangga bisa saudaranya, muslim ataupun non muslim. Tidak dikatakan beriman kalau tetangganya tidak makan. Sementara untuk memecahkan masalahnya, lebih lanjut M. Najib Subroto mengungkapkan,"Pertama kita harus melakukan keterbukaan, Islam tidak memiliki rasa kebencian terhadap etnis manapun. Karena hakekatnya mengakui kebera-daan manusia dima-napun ia berada. Kedua yakni perlu adanya prasa-ngka yang baik. Mungkin prasangka yang buruk yang dicipta-kan situasi. Ketiga kalau perlu diadakan Dialog antara Tiong-hoa dan Islam."

Islam Tionghoa saat ini. Jika kita berbi-cara etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam maka terasa kurang kalau tidak membicarakan keberadaanya saat ini. Kalu mem-bicarakannya tentu tak bisa pula terlepas dari yayasan ataupun organisasi yang menaungi umat Islam Tionghoa. Hal itu terasa penting untuk menguatkan ukhuwah islamiyah diantara etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam. Yayasan ataupun organisasi yang tempat berkumpulnya etnis Tionghoa diantaranya Yayasan Karim Oei, Pembina Iman Tauhid Islam/ Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) serta yang baru-baru ini adalah Persaudaraan Muslim Tionghoa Indonesia. Sebagai tempat berkumpulnya etnis Tionghoa yang beragama Islam, Yayasan Karim Oei sangat berperan terutama untuk media seperti pengajian, dakwah ataupun yang lainnya. Hal yang serupa juga berlaku dengan PITI ataupun PMTI.

Berdirinya PITI oleh berbagai kalangan pun disambut dengan baik. M Najib Subroto, SE dari DPP Partai Keadilan berujar,"Saya kira selama bergerak dalam pengembangan dakwah dan untuk mengembangkan Islam. Karena pendekatan suku, budaya, keleompok ataupun etnik dalam kerangka dakwah itu lebih bagus. Kalau sama-sama Tionghoa lebih mudah dipersatukan." Kalau hal itu berkaitan dengan organisasi, maka terasa kurang pula bila kita tak membicarakan individu-individunya. Hal itu penting karena ternyata banyak etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam peranannya terutama dalam dakwah tak diragukan. Walaupun bukan Mualaf lagi, tapi pemahamannya tentang Islam jauh lebih baik dibandingkan masyarakat yang telah lebih dahulu memeluknya.

Kita mengenal beberapa, seperti misalnya H. Usman Effendy, Alifuddin El Islami ( Anton Medan) ataupun Anton Syafei. Ketiga-tiganya mempunyai profesi yang sama yakni berdakwah. Sebagai mantan artis film dan masih aktif di sinetron, kehadiran Usman Effendy tentu sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat. Anton Medan yang notabene mantan narapidana, ternyata peranannya dalam berdakwah terutama kepada para narapidana juga diterima. Dalam beberapa kesempatan, Anton sering diundang oleh sesama napi untuk memberikan dakwah dan yang tak kalah menariknya yakni Anton membuat pengajian khusus untuk mantan para napi. Sedangkan Anton Syafei, ustadz yang satu ini mempunyai keahlian terutama dalam bidang ekonomi apalagi menyangkut masalah zakat. Itulah beberapa etnis Tionghoa yang kita kenal. Dan sebenarnya mungkin masih banyak lagi yang lainnya, namun jarang diekspos. (Aras/YuM).

|Refleksi| |Wawancara| |Lip-Sus| |Iptek| |Ekonomi| |Kolom TSL| |Layar|

| Utama | | Redaksional | |Saran / Kritik Masukkan | |Denah Alamat | |Lain-lain |

Copyright © 2000 SINERGI On-Line (Indonesian Chinesse Magazine) Send Mail to
metta@indo.net.id with comments about this web site
All Rights Reserved
Designed by Rickysept and hosted by www.tripod.com